M. Djamil Datuk Rangkayo Tuo (Dr)

29 04 2008

Oleh : Kamardi Rais Dt. Panjang Simulie

Mengenang seorang Pejuang Gubernur “Lipat”Dr. M. Djamil Datuk Rangkayo Tuo seorang pejuang kemerdekaan Republik Indonesia di Sumatra Barat. Beliau adalah mantan Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah, mantan Residen Sumatra Barat, dan mantan Gubernur Muda Sumatra Tengah pada tahun-tahun awal kemerdekaan.

Dalam mengenang tokoh pejuang ini, tak dapat tidak, haruslah kita melihat kembali potret dari suasana daerah kita setelah lonceng kemerdekaan berdentang pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai ke pemulihan kedaulatan R.I. pada tahun 1949.

Sebetulnya, peristiwa jatuhnya bom Atom di Kota Nagasaki dan Hiroshima (11 dan 14 Agustus 1945) sudah banyak juga diketahui oleh umum di daerah kita. Bahwa pada akhirnya Perang Dunia II itu akan dimenangkan oleh Sekutu, nyatanya memang benar. Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu.

Tiga hari setelah itu, Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan RI ke seluruh dunia. Berita proklamasi tersebut telah sampai juga ke daerah kita Sumatra Barat yang direkam oleh pemuda-pemuda kita yang bekerja di kantor PTT di Padang dan Bukittinggi.

Suatu rapat rahasia di Padang dilangsungkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dipimpin oleh Ismail Lengah yang dilanjutkan kemudian tanggal 25 Agustus 1945 dengan terbentuknya BPPI (Balai Penerangan Pemuda Indonesia) yang diketuai langsung oleh Ismail Lengah. Seminggu setelah itu, persisnya tanggal 31 Agustus, terbentuk pula Komite Nasional Indonesia Daerah Sumatra Barat yang diketuai oleh M. Sjafei, di Kayutanam, yang sebelumnya sebagai Ketua Tyoo Sangi In seluruh Sumatra.

Sesuai dengan bunyi teks Proklamasi RI tentang pemindahan kekuasaan dari Jepang ke tangan Republik Indonesia, maka anggota KNI Sumatra Barat menoleh kepada tokoh-tokoh yang senior di antara mereka. Yang senior itu adalah Engku Mohammad Sjafei yang sudah berusia mendekati lima puluh. Yang lainnya adalah Dr. Moh. Djamil. Keduanya dari Kayu Tanam dengan perbedaan usia yang beberapa tahun. Dr. M. Djamil lahir pada tahun 1898, sedangkan engku Sjafei lahir pada tahun 1896.

Tokoh senior lainnya adalah Buya Ahmad Rasjid Sutan Mansur dari Muhammadiyah dan Rusad Dt. Parpatih Baringek, H. Ilyas Jakob, dan lain-lain, yang rata-rata berusia menjelang 50 tahun. Sementara para pemuda yang tergabung dalam BPPI pada umumnya berusia antara 25-30 tahun.

Menurut Kasim Datuk Malilit Alam (Alm) mantan anggota BPPI dan mantan Komandan Polisi Tentara (PT) yang penulis wawancarai pada tahun 1974 di rumahnya di Seberang Padang, menceritakan bahwa di antara para senior itu, Engku Sjafei yang selalu bicara wanti-wanti. Sementara Dr. Moh. Djamil selalu berbicara tegas, lugas, dan ringkas.

Dalam pertemuan di rumah Mr. Egon Hakim di Belatung Kecil, Padang, 15 September 1945 yang dihadiri Pimpinan KNI daerah Sumbar, M. Sjafei, Dr. Moh. Djamil dan Rasuna Said dibicarakan juga pengambilan pemerintahan dari Sju Tjokan ke tangan Republik Indonesia. Untuk itu, Engku Sjafei disepakati untuk jadi Residen Sumatra-Barat yang pertama.

Ketika itu, Engku Sjafei tampak belum bulat menerima kesepakatan itu, maka Dr. M. Djamil yang suka berkata tegas mendekati Engku Sjafei, lalu berkata:

“Engku! Tak ada yang lain memegang jabatan ini. Hanya Engku. Bukankah Engku Ketua Tyoo Sjangi In se-Sumatra? Kami siap mendukung Engku!” kata Dr. M. Djamil yang kemudia kembali ke tempat duduknya.

Kesepakatan menunjuk Engku Sjafei sebagai residen tersebut disampaikan kepada Sju Tjokan terutama tentang cara-cara pelaksanaannya, namun pembesar Jepang itu menolaknya.

“Engku Sjafei cukup sebagai Pembantu Tjokan saja,”

Namun demikian dalam sidang KNI Sumatra Barat kemudiannya, persisnya 1 Oktober 1945 diputuskanlah secara bulat bahwa Engku Sjafei sebagai Residen Sumatra Barat yang pertama. Berikutnya ditetapkan pula para Wali Luhak (sekarang Bupati Kepala Daerah) dan para Demang dan Demang Muda (Wedana dan Asisten Wedana) yang memimpin kewedanaan dan kecamatan di seluruh Sumatra Barat.

Selanjutnya Engku Sjafei yang telah jadi residen terpaksa meninggalkan jabatan Ketua KNI Daerah sesuai dengan bunyi Kawat Gubernur Sumatra, Mr. Teuku M. Hasan yang menyatakan bahwa jabatan residen tidak boleh dirangkap. Karena itu jabatan Ketua KNI Sumatra Barat dipegang langsung oleh Dr. M. Djamil yang tadinya sebagai wakil ketua.
Penggantian Residen

Engku M. Sjafei sebagai Residen Sumatra Barat pertama, dengan alasan kesehatannya telah mengajukan pengunduran diri sebagai residen. Ia digantikan oleh Rusad Dt. Parpatih Baringek pada tanggal 15 November 1945 setelah menjabat selama tiga setengah bulan, ia digantikan pula oleh Dr. M. Djamil Dt. Rangkayo Tuo pada tanggal 18 Maret 1946 sampai tanggal 1 Juli 1946, sekitar tiga setengah bulan pula.

Dalam siding KNI Sumbar, tanggal 18 Maret 1946 tersebut direkomendasikan kepada Residen Sumbar yang baru, Dr. M. Djamil untuk mengeluarkan peraturan tentang nagari (pada waktu itu disebut “Negeri”)

Peraturan tentang nagari tersebut siap dua bulan kemudian dengan nama Maklumat Residen Sumatra Barat Nomor 20 dan Nomor 21 tertanggal 21 Mei 1946. Dengan maklumat tersebut tampillah lembaga-lembaga baru di nagari berupa Wali Negeri, Dewan Harian Negeri (DHN) dan Dewan Perwakilan Negeri (DPN) waktu itu Dr. M. Djamil berpendapat bahwa lembaga adat di nagari tidak akan diusik-usik seperti Kerapatan Adat Nagari, karena ia sudah merupakan perangkat adat yang turun-temurun.

Tapi kebijakan Residen Dr. M. Djamil tersebut mendapat kecaman dan protes keras dari pihak Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) yang diketuai oleh Mamanda Datuk Simarajo Simabur, bawa struktur baru yang diciptakan oleh Maklumat Residen no. 20 dan no. 21 tersebut terpengaruh pada perkembangan ke-partai-an yang sedang marak dan melupakan struktur adat di dalam nagari.

Residen Dr. M. Djamil dalam nota jawabannya kepada MTKAAM mengaskan bahwa soal adat dan istiadat tetap menjadi kompetensi Kerapatan Adat Nagari (KAN) tidak boleh dicampuri oleh WN dan DPN.
Gubernur “Lipat”

Kemudian tibalah masanya Provinsi Sumatra dibagi tiga sub-provinsi, masing-masingnya sub-provinsi Sumatra Utara yang terdiri dari Keresidenan Aceh, Keresidenan Sumatra Timur dan Keresidenan Tapanuli dengan ibukotanya Medan.

Sub-provinsi Sumatra Tengah yang terdiri dari Keresidenan Sumatra Barat, Keresidenan Riau dan Keresidenan Jambi dengan ibukotanya Bukittinggi.

Sub-provinsi Sumatra Selatan terdiri dari Keresidenan Palembang, Keresidenan Bengkulu, Keresidenan Lampung dan Keresidenan Bangka Belitung dengan ibukotanya Palembang.

Setiap sub-provinsi tersebut diangkatlah seorang Gubernur Muda, dan untuk sub-provinsi Sumatra Tengah atas usulan Gubernur Provinsi Sumatra Mr. Teuku Moh. Hasan ditunjuk oleh Pemerintah Pusat Dr. Moh. Djamil pada tanggal 2 Juli 1946. Untuk gantinya sebagai Residen Sumatra Barat, KNI Sumatra Barat menunjuk Mr. St. Moh. Rasjid sebagai Residen Sumatra Barat yang ke-empat pada tanggal 20 Juli 1946.

Selama Pemerintah sup-provinsi Sumatra Tengah di bawah Gubernur Muda Dr. M. Djamil tercatat sebagai seorang pejuang yang tak mengenal lelah menggembleng semangat rakyat mempertahankan kemerdekaan RI yang telah diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945.

Untuk itu di mana saja Gubernur Muda Dr. M. Djamil tampil di depan massa (pertemuan dan rapat-rapat raksasa) Dia selalu menyelipkan kata-kata “lipat” dan “sikat” bagi siapa yang berjiwa dan bersikap ragu-ragu terhadap perjuangan Republik.

“Lipat dan sikat saja orang-orang yang berpihak kepada Belanda dan Sekutu,” katanya dalam menutup pidatonya yang selalu berapi-api.

Setelah sembilan bulan Dr. M. Djamil, mengabdi sebagai Gubernur Muda Sumatra-Tengah, tibalah saatnya dia menyerahkan jabatan Gubernur Muda itu kepada Mr. Moh. Nasrun pada tanggal 29 April 1947.

Pada hari-hari terakhir masa jabatannya selaku Gubenur Muda Sumatra Tengah, ia sempat menerima penyerahan barang-barang utama Kerajaan Siak Seri Indrapura dari Sultan Siak XII, Sultan Syarif Kasim yang dibawa oleh petugas khusus, Rusad Dt. Parpatih Baringek, dan kini barang-barang berharga tersebut disimpan di Museum Pusat di Jakarta.

Selepas Dr. M. Djamil jadi Gubernur Muda Sumatra Tengah, beliau ditunjuk oleh Gubernur Provinsi Sumatra, Mr. Teuku Moh. Hasan sebagai Ketua Panitia Persiapan Sekolah Tinggi di Provinsi Sumatra.

Meski ia tidak lagi jadi Gubernur Muda, namun bila orang melihat mobilnya lewat, maka terlompatlah dari mulut orang: “Itu Gubernur lipat.”


Actions

Information

Leave a comment