Syekh Thahir Djalaluddin Al-Azhari Al-Falaki

29 04 2011

Ulama Besar Semenanjung Malaysia Keturunan Minangkabau

Ditulis ulang : MuhammadIlham (c) Tim Peneliti FIBA

“Kehadiran Thahir Djalaluddin, menurut Roff, telah menarik perhatian para ulama kaum tua di Semenanjung. Mayoritas para ulama tua ini merasa tersaingi dan terkesan kehadiran ahli falak ini menggerogoti otoritas dan domain keilmuan mereka” (William Roff)

Syekh Thahir Djalaluddin Al-Azhari Al-Falaki (selanjutnya disebut Thahir Djalaluddin) pada waktu kecil memiliki nama Muhammad Thahir. Beliau lahir di nagari Ampek Angkek Canduang, Bukittinggi pada tanggal 7 Desember 1869. Beliau kembali ke Rahmatullah pada tanggal 26 Oktober 1956 di Kuala Kangsar Perak, Malaysia. Secara genetik, Thahir Djalaluddin merupakan keturunan ”darah biru ulama”. Ayahnya bernama Muhammad, yang biasa dipanggil dengan Syekh Cangkiang. Gelar Syekh ini menunjukkan bahwa ayah Thahir Djalaluddin merupakan seorang ulama. Sementara itu, kakeknya bernama Ahmad Djalaluddin dengan gelar Tuanku Sami’, seorang kadi pada masa Paderi. Thahir Djalaluddin merupakan saudara sepupu dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Sementara itu, ibu Thahir Djalaluddin, Limbak Urai, merupakan kakak dari Gandam Urai, ibu dari Syekh Ahmad Khatib. Thahir Djalaluddin memiliki empat orang saudara yaitu Aishah, Maryam, Muhammad Amin dan Halimah. Ketika beliau berumur 2 tahun, ayah Thahir Djalaluddin meninggal dunia dan enam tahun kemudian sang ibu-pun menyusul ke rahmatullah. Sejak itu, beliau diasuh oleh adik ibunya, Limbak Urai.Thahir Djalaluddin mempunyai enam orang istri yang dinikahinya dalam waktu yang berbeda. Istri pertama beliau bernama Aishah binti Haji Mustafa yang dinikahinya ketika beliau pertama sekali tinggal di Kuala Kangsar. Dengan aishah ini, Thahir Djalaluddin dikaruniai enam orang anak yang bernama Rahmah, Muhammad Al-Johary, Ahmad, azizah, Hamid dan Hamdan. Sedangkan lima orang lagi istri beliau merupakan keturunan Minangkabau yang dinikahinya ketika Thahir Djalaluddin berkunjung ke Minangkabau. Dengan istri-nya yang lima orang keturunan Minangkabau tersebut, Thahir Djalaluddin tidak dikaruniai anak. Sampai akhir hayatnya, Thahir Djalaluddin tetap menjaga perkawinannya dengan istrinya yang pertama Aishah binti Haji Mustafa. Pada tahun 1880, Thahir Djalaluddin berangkat ke Mekkah untuk menuntut ilmu Islam menyusul kakak sepupunya yang terlebih dahulu ke Mekkah. Syekh Ahmad Khatib berangkat ke Mekkah tahun 1871. Di Mekkah ini, beliau belajar selama 13 tahun (dari tahun 1880-1893), termasuk belajar pada kakak sepupunya Syekh Ahmad Khatib. Karena Thahir Djalaluddin belum merasa puas selama belajar di Mekkah, Thahir Djalaluddin berangkat ke Mesir dan melanjutkan studinya di Al-Azhar selama 3 tahun (1895-1898). Kemudian beliau kembali lagi ke Mekkah dan bergabung sambil belajar dengan sepupunya yang pada waktu itu telah diangkat menjadi Guru dan Imam Mazhab Syafei di Masjidil Haram. Limbak Urai merupakan istri dari Abdul Lathif Khatib Nagari yang merupakan tokoh di kampung halaman Thahir Djalaluddin ketika itu.Pada tahun 1898, beliau kemudian meninggal Mekkah dan menetap di Malaya.Intensitas kegiatan Thahir Djalaluddin kemudian selanjutnya terfokus di daerah Perak, Johor dan Singapura. Kalau tidak mendapat tantangan dari beberapa ulama tua-tradisionalis di Perak, beliau berkemungkinan besar diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak.