Sumatera Barat atau Ranah
Minangkabau itu gudang pemikir dan intelektual nasional yang mumpuni dan diperhitungkan, orang sudah tahu. Sejarah bangsa ini, telah mencatat banyak nama. Dan pada suatu massa di zaman Orde Baru, sudah mulai terjadi krisis pemikir yang sekaligus penulis. Tak banyak lagi nama-nama yang mencuat ke permukaan secara nasional. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari
Ketika saya mulai bergabung di Kompas, tahun 1995, saya mendapat pertanyaan, apa tak ada lagi orang semacam Hendra Asmara dan AA Navis di Sumatera Barat? Hendra Asmara dikenal secara nasional karena ia ekonom yang penulis dan sering jadi narasumber untuk persoalan ekonomi bangsa. Pemikirannya sangat disegani, bernas, cerdas, dan mencerahkan. Begitu juga AA Navis, ia dikenal tidak saja sebagai sastrawan, tetapi juga budayawan.
Mendapat pertanyaan itu, saya seolah ditantang; kalau memang ada silakan dorong dan orbitkan. Kompas sangat terbuka bagi mereka.
Dalam perjalanan, hanya di bidang kesusastraan agak banyak penulis dan pemikir yang muncul dari Sumatera Barat. Menyebut sejumlah nama, misalnya, ada Mursal Esten, Harris Effendi Thahar, Hasanuddin WS, Darman Moenir, Gus tf Sakai, dan Yusrizal KW. Bidang kesejarahan ada Mestika Zed.
Sedangkan di bidang lain, boleh dikata tidak ada. Ketika ada suatu isu, mereka tidak siap memberikan pandangan dan pemikirannya. Kepakarannya belum teruji. Alasan yang selalu dikemukakan, “Saya belum tahu. Saya belum membaca. Buat pertanyaan tertulis, nanti saya jawab”.
Beda dengan seorang Saldi Isra. Di usia mudanya ia sudah menunjukkan kepakarannya. Ia sangat menguasai isu terkini dan selalu ada pemikiran yang orisinal darinya. Ia sering menulis di Koran daerah di
Padang, sejak mahasiswa.
Tak ingat kapan pertama kali bertemu dengan Saldi. Akan tetapi untuk pertama kali ia saya jadikan narasumber adalah ketika heboh kasus ‘korupsi berjemaah’ di Sumatera Barat. Judul berita dengan narasumber Saldi waktu itu “Cacat Hukum, Pengesahan APBD Sumbar” (Kompas, 2 Februari 2002, halaman 19). Berlanjut kemudian “APBD Sumatera Barat 2002 Boros” (Kompas, 6 Februari 2002, halaman 20), “Lagi, Dana Aspirasi DPRD Sumbar Rp11 Miliar” (Kompas, 7 Februari 2002, halaman 19), dan “Diduga Melakukan Korupsi: Seluruh Anggota DPRD Sumbar Dilaporkan Kekejaksaan” (Kompas, 12 Februari 2002, halaman 20). Setelah itu Saldi tak putus-putusnya jadi narasumber Kompas.
Nama Saldi mencuat, sejalan dengan mencuatnya kasus korupsi yang heboh secara nasional itu. Gerakan sosial melawan korupsi yang dilakukan Forum Peduli Sumatera Barat (FPSB) di tahun 2002. Dia salah satu –tanpa menafikan sejumlah nama lain—nama yang cukup mencuat, apalagi Saldi Isra ketika itu menjadi koordinatornya.
Saldi tak hanya jadi narasumber yang selalu siap bila berhadapan dengan wartawan. Jauh sebelumnya, menjelang gerakan reformasi, Saldi sudah menulis di pemikirannya di harian Kompas. Opini Saldi Isra pertama kali dimuat judulnya “Saatnya, Perbaikan Tap MPRS No XX/1966” (Kompas, 14 Januari 1998, halaman 5). Kemudian opini “Wakil Presiden Jadi Ketua DPA? Tanggapan untuk G Moedjanto” (Kompas, 4 Maret 1998, halaman 5). Opini ketiga lahir tiga tahun kemudian, yaitu “Sekitar Pengisian Jabatan Wakil Presiden” (Kompas, 25 Juli 2001, halaman 4).
Hingga tulisan ini dibuat, 22 Januari 2010, Saldi Isra telah menulis 113 opini di harian Kompas. Terakhir berjudul “Menunggu Giliran SBY” (Kompas, 21 Januari 2010, halaman 4).
Kalau tidak salah, tahun 2008, Saldi Isra tercatat sebagai penulis paling produktif di harian Kompas. Bahkan, hingga Januari 2010, sudah 248 kali menjadi sumber berita Kompas.
Read the rest of this entry »
Recent Comments