KH.Sirajuddin Abbas

25 04 2012

 KH.Sirajuddin Abbas lahir di kampung Bengkawas, Kabupaten Agam, Bukit tinggi, Sumatra barat, pada tanggal 20 Mei 1905. Sebagai anak laki-laki sulung Syekh Abbas bin Abdi Wahab bin Abdul Hakim Ladang lawas, seorang qadhi, ibu beliau bernama Ramalat binti Jai Bengkawas. Beliau dibesarkan dalam lingkungan agama yang taat. Pada mulanya beliau belajar Al quran pada ibu hingga berusia 13 tahun. Setelah itu beliau belajar kitab-kitab arab pada ayah beliau selama tiga tahun. Selama enam tahun berikutnya, beliau belajar kepada para ulama di Bukittinggi dan sekitarnya. Seperti syekh Husen Pekan Senayan Kabupaten Agam, Tuanku Imran limbukan Payakumbuh limapuluh kota, Syekh H.Qasem Simabur Batu Sangkar Tanah Datar, Syekh Muhammad Zein di Simabua, Batu Sangkar, Syekh H.Abdul Malik di Gobah, ladang Laweh. Tahun 1927 beliau belajar di tanah suci. Disana beliau berguru kepada beberapa ulama di Masjidil haram seperti :

1. Syekh Muhammad Said Yamani (mufti Mazhab Syafii) mempelajari ilmu fiqh dalam mazhab Syafii dari kitab Al Mahally

2. Syekh Husen Al Hanafi (mufti mazhab Hanafi) mempelajari ilmu hadis dari kitab Shahih Bukhary.

3. Syekh Ali Al maliki (mufti mazhab maliki) mempelajari ilmu usul fiqh dari kitab Al furuq

4. Syekh Umar hamdan, darinya beliau mempelajari kitab Al Muwatha` karangan Imam Malik.

Beliau tinggal disana sampai tahun 1933. Tahun 1930 beliau diangkat menjadi staf sekretariat pada konsultan Nedherland di Arab Saudi. Pengetahuan agamanya yang sangat luas dan penguasaannya terhadap bahasa arab yang fasih mengantarkannya kejenjang nasional dan internasional di ranah politik perjuangan bangsa Indonesia. Sekembali dari Makkah tahun 1933 beliau mengambil dan menerima macam-macam ilmu pengetahuan agama dari syekh Sulaiman Ar rasuli Canduang Bukittinggi. Selain itu beliau juga belajar bahasa inggris kepada seorang guru yang berasal dari Tapanuli yaitu Ali Basya. Tiga tahun pertama di kampung ia dikenal sebagai muballigh muda yang potensial sehingga menarik minat para ulama senior yang bergabung dalam persatuan Tarbiyah Indonesia, organisasi keagamaan satu satunya yang ada di Bukitinggi.

Ketika berlangsung kongres ketiga organisasi tersebut di Bukit tinggi tahun 1936 tak ayal lagi beliau pun terpilih sebagai ketua umum Tarbiyah. Ternyata pilihan itu tidak salah, ditangan beliau Tarbiyah kian berkembang. Dan yang lebih penting mulai merambah bidang politik. Tahun 1940 Tarbiyah mulai mengajukan usul kepada pemerintah colonial agar Indonesia bisa berparlemen. Usul tersebut diajukan melalui komisi Visman yang dibuka pemerintah kolonial untuk menjaring suara-suara kalangan bawah.

Sepak terjang beliau mulai didengar oleh Bung karno. Pada saat ia ditahan oleh pemerintah Kolonial di Bengkulu dan dipersiapkan untuk dibuang ke Australia (1942). Namun entah mengapa, kapal yang digunakan untuk membawa Bung Karno terbakar. Bung Karno memanfaatkan sistuasi tersebut untuk melarikan diri hingga sampai ke Muko-muko. Dari Muko-muko ia melarikan diri ke Bukit tinggi dengan menggunakan sepeda motor yang diberikan seorang penduduk yang simpati padanya. Di Bukit tinggi ia segera menemui KH.Sirajuddin Abbas. Tentu saja KH.Sirajuddin kaget, tidak menduga akan kedatangan tokoh yang namanya sedang meroket ditengah tengah masyarakat kala itu. Bung Karno berpesan pada KH Sirajuddin Abbas agar Tarbiyah lebih berhati-hati karena Jepang akan menjajah Indonesia.” Jepang lebih berbahaya dari pada Belanda. Read the rest of this entry »





Haji Alay, “Dokter Mal” asal Bukittinggi

25 09 2011

Oleh : Yuyun Manopol (SWA.co.id)

Ia disebut-sebut sebagai “penguasa” Pasar Tanah Abang karena memiliki banyak kios/toko. Ia pun dijuluki “dokter mal” karena mampu menggairahkan mal dan pusat perbelanjaan yang mati suri di berbagai kota. Kini, kiprah pebisnis senior ini lebih banyak di dunia sosial dan pendidikan.

 

Pagi itu sekitar pukul 09.00 suasana Blok F3 Pasar Tanah Abang sudah ramai dengan pedagang dan pembeli. Haji Alay mampir ke salah satu tokonya, Zona Scarf, yang menjual berbagai jenis kerudung dengan label Zona. “Biasanya pukul tujuh pagi saya sudah ada di toko,” ujar pria yang gemar berbaju koko dan berpeci ini.

 

Di seputar Pasar Tanah Abang, Haji Alay merupakan sosok kondang. Pria berusia 58 tahun asal Minang ini disebut-sebut sebagai salah satu penguasa toko di Pasar Tanah Abang. Ia juga dikenal sebagai pebisnis bertangan dingin yang mampu menggairahkan kembali sejumlah mal dan pusat perbelanjaan yang mati suri di beberapa daerah seperti Cipadu, Sukabumi, Cilegon, Makassar dan Ciputat.

 

Ini terbukti ketika penulis berjalan beriringan denganya menuju kantor dari tokonya yang berjarak beberapa ratus meter. Pria kelahiran Bukittinggi, 30 Mei 1953, ini beberapa kali bertukar sapa dengan para pedagang di sepanjang jalan. Mereka saling berjabat tangan dan kadang berpelukan hangat, sembari menanyakan kabar masing-masing. Bahkan, ada seorang ibu tua dengan pakaian lusuh bercerita tentang kondisi kesehatannya yang membaik setelah sebelumnya sulit berjalan karena sakit varises.

 

Read the rest of this entry »





Syekh Thahir Djalaluddin Al-Azhari Al-Falaki

29 04 2011

Ulama Besar Semenanjung Malaysia Keturunan Minangkabau

Ditulis ulang : MuhammadIlham (c) Tim Peneliti FIBA

“Kehadiran Thahir Djalaluddin, menurut Roff, telah menarik perhatian para ulama kaum tua di Semenanjung. Mayoritas para ulama tua ini merasa tersaingi dan terkesan kehadiran ahli falak ini menggerogoti otoritas dan domain keilmuan mereka” (William Roff)

Syekh Thahir Djalaluddin Al-Azhari Al-Falaki (selanjutnya disebut Thahir Djalaluddin) pada waktu kecil memiliki nama Muhammad Thahir. Beliau lahir di nagari Ampek Angkek Canduang, Bukittinggi pada tanggal 7 Desember 1869. Beliau kembali ke Rahmatullah pada tanggal 26 Oktober 1956 di Kuala Kangsar Perak, Malaysia. Secara genetik, Thahir Djalaluddin merupakan keturunan ”darah biru ulama”. Ayahnya bernama Muhammad, yang biasa dipanggil dengan Syekh Cangkiang. Gelar Syekh ini menunjukkan bahwa ayah Thahir Djalaluddin merupakan seorang ulama. Sementara itu, kakeknya bernama Ahmad Djalaluddin dengan gelar Tuanku Sami’, seorang kadi pada masa Paderi. Thahir Djalaluddin merupakan saudara sepupu dari Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Sementara itu, ibu Thahir Djalaluddin, Limbak Urai, merupakan kakak dari Gandam Urai, ibu dari Syekh Ahmad Khatib. Thahir Djalaluddin memiliki empat orang saudara yaitu Aishah, Maryam, Muhammad Amin dan Halimah. Ketika beliau berumur 2 tahun, ayah Thahir Djalaluddin meninggal dunia dan enam tahun kemudian sang ibu-pun menyusul ke rahmatullah. Sejak itu, beliau diasuh oleh adik ibunya, Limbak Urai.Thahir Djalaluddin mempunyai enam orang istri yang dinikahinya dalam waktu yang berbeda. Istri pertama beliau bernama Aishah binti Haji Mustafa yang dinikahinya ketika beliau pertama sekali tinggal di Kuala Kangsar. Dengan aishah ini, Thahir Djalaluddin dikaruniai enam orang anak yang bernama Rahmah, Muhammad Al-Johary, Ahmad, azizah, Hamid dan Hamdan. Sedangkan lima orang lagi istri beliau merupakan keturunan Minangkabau yang dinikahinya ketika Thahir Djalaluddin berkunjung ke Minangkabau. Dengan istri-nya yang lima orang keturunan Minangkabau tersebut, Thahir Djalaluddin tidak dikaruniai anak. Sampai akhir hayatnya, Thahir Djalaluddin tetap menjaga perkawinannya dengan istrinya yang pertama Aishah binti Haji Mustafa. Pada tahun 1880, Thahir Djalaluddin berangkat ke Mekkah untuk menuntut ilmu Islam menyusul kakak sepupunya yang terlebih dahulu ke Mekkah. Syekh Ahmad Khatib berangkat ke Mekkah tahun 1871. Di Mekkah ini, beliau belajar selama 13 tahun (dari tahun 1880-1893), termasuk belajar pada kakak sepupunya Syekh Ahmad Khatib. Karena Thahir Djalaluddin belum merasa puas selama belajar di Mekkah, Thahir Djalaluddin berangkat ke Mesir dan melanjutkan studinya di Al-Azhar selama 3 tahun (1895-1898). Kemudian beliau kembali lagi ke Mekkah dan bergabung sambil belajar dengan sepupunya yang pada waktu itu telah diangkat menjadi Guru dan Imam Mazhab Syafei di Masjidil Haram. Limbak Urai merupakan istri dari Abdul Lathif Khatib Nagari yang merupakan tokoh di kampung halaman Thahir Djalaluddin ketika itu.Pada tahun 1898, beliau kemudian meninggal Mekkah dan menetap di Malaya.Intensitas kegiatan Thahir Djalaluddin kemudian selanjutnya terfokus di daerah Perak, Johor dan Singapura. Kalau tidak mendapat tantangan dari beberapa ulama tua-tradisionalis di Perak, beliau berkemungkinan besar diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak.




Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy – Pelopor Gerakan Pembaharu di Minangkabau

19 04 2011

Oleh : Buya Mas’oed Abidin

Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi – Imam dan khatib Masjid al-Haram Mekah -, Pelopor Gerakan Pembaruan di Minangkabau dan Tanah jawi (Nusantara)
Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855).[1]

Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim gerakan Padri yang sangat anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi (lahir Isnin, 6 Zulhijjah 1276 H/26 Jun 1860 M, wafat 9 Jamadilawal 1334 H/13 Mac 1916 M) dalam catatan lainnya beliau dilahirkan pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai, yang adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.

Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.

Read the rest of this entry »





Prof.DR.H. Mahmud Yunus

4 02 2011

Oleh : Drs. Irhash A. Shamad, M.Hum

Akhir abad ke sembilan belas dan awal abad keduapuluh adalah masa dimana arus kebangkitan Islam sedang mengalir ke berbagai penjuru dunia, tidak terkecuali Indonesia. Gelombang kebangkitan ini dihembuskan pada awalnya oleh Jamaluddin Al-Afghany dan rekannya Sayyid Rasyid Ridha dari Mesir. Arus gelombang kebangkitan Islam ini sangat dirasakan konsekuensi politisnya oleh pemerintahan kolonial di Indonesia. Dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 telah menyebabkan meningkatnya jumlah rakyat pribumi melakukan perjalanan haji. Dengan demikian kontak intelektual antara kawasan jajahan dengan pusat Islam dan sesama wilayah terjajah lainnya menjadi meningkat pula.

Keadaan ini telah “memaksa” Belanda untuk mengubah arah kebijakan politiknya. Pada tahun 1901 Belanda mulai menjalankan politik etis. Gagasan politik ini bertujuan untuk menjaga kondisi sosial politik pemerintahan kolonial di Indonesia dengan menawarkan “balas jasa” pemerintah terhadap rakyat pribumi dalam bentuk perluasan kesempatan memperoleh pendidikan barat bagi rakyat pribumi.

Read the rest of this entry »





SYEKH BURHANUDDIN, ULAKAN (1646 – 1704

2 12 2008

SYEKH BURHANUDDIN, ULAKAN (1646 – 1704 )

Syekh Burhanuddin telah banyak dikenal dan diperbincangkan para ilmuwan, baik dalam literatur, maupun dari laporan bangsa Eropah lainnya. Salah satu sumber utama yang menjelaskan dari perkembangan surau-surau dan lahirnya pembaruan Islam di Minangkabau berasal dari sebuah naskah kuno tulisan Arab Melayu. Naskah itu berjudul, Surat Keterangan Saya Faqih Saghir Ulamiyah Tuanku Samiq Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo, yang ditulis pada tahun 1823. Buku ini menjelaskan peranan surau dalam menyebarkan agama Islam di pedalaman Minangkabau yang dikembangkan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin Ulakan.
Di samping itu, riwayat ulama ini telah diterbitkan dalam tulisan Arab Melayu oleh Syekh Harun At Tobohi al Faryamani (1930) dengah judul Riwayat Syekh Burhanuddin dan Imam Maulana Abdul Manaf al Amin dalam Mubalighul Islam. Buku ini menerangkan dengan jelas mengenai diri Pono, yang kemudian bergelar Syekh Burhanuddin. Diceritakan dengan jelas kehidupan keluarga, masa mengenal Islam dengan Tuanku Madinah kemudian berlayar ke Aceh untuk menimba ilmu kepada Syekh Abdurrauf al Singkli.
Read the rest of this entry »