Chairil Anwar : “Di Karet Sampai Juga Deru Angin”
Ditulis Ulang Oleh : Muhammad Ilham
“Si Binatang Jalang” Chairil Anwar adalah legenda sastra dan ilham terbaik bagi sebagian besar pecinta sastra. Namun siapa sangka, penyair yang memelopori pembebasan bahasa Indonesia dari tatanan lama ini adalah juga seorang pengembara batin yang menghabiskan usianya hanya untuk puisi? Berikut ini tulisan tentang Chairi Anwar, yang sebagian besar bahannya dicuplik dari buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arief Budiman, ditambah beberapa referensi lain serta sejumlah wawancara. Arief Budiman memulainya dari kenangan Asrul Sani. “Di Jalan Juanda (Jakarta) dulu ada dua toko buku, yang sekarang jadi kantor Astra. Namanya toko buku Kolf dan van Dorp. Koleksinya luar biasa banyak. Saya dan Chairil suka mencuri buku di situ,” begitu Asrul Sani pernah bercerita. “Suatu kali kami melihat buku Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra. `Wah, itu buku mutlak harus dibaca,’ kata Chairil pada saya. `Kau perhatikan orang itu, aku mau mengantongi Nietzsche ini.’ Chairil memakai celana komprang dengan dua saku lebar, cukup besar untuk menelan buku itu.” Buku-buku filsafat, termasuk buku Nietzsche tadi, diletakkan di antara buku-buku agama. Kebetulan buku Nietzsche ukuran dan warna sampulnya yang hitam persis betul dengan kitab Injil. “Sementara Chairil mengantongi buku, saya memperhatikan pelayan toko,” kata Asrul. “Hati saya deg-degan setengah mati. Setelah buku berpindah tempat, kami lantas keluar dari toko dengan tenang. Tapi sampai di luar tiba-tiba Chairil terkejut, `Kok ini? Wah, salah ambil aku!’ sambil tangannya terus membolak-balik buku. Rupanya Chairil salah mengambil Injil. Kami kecewa sekali.”
Recent Comments