Chairil Anwar

29 03 2011

Chairil Anwar : “Di Karet Sampai Juga Deru Angin”

Ditulis Ulang Oleh : Muhammad Ilham

“Si Binatang Jalang” Chairil Anwar adalah legenda sastra dan ilham terbaik bagi sebagian besar pecinta sastra. Namun siapa sangka, penyair yang memelopori pembebasan bahasa Indonesia dari tatanan lama ini adalah juga seorang pengembara batin yang menghabiskan usianya hanya untuk puisi? Berikut ini tulisan tentang Chairi Anwar, yang sebagian besar bahannya dicuplik dari buku Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan, karya Arief Budiman, ditambah beberapa referensi lain serta sejumlah wawancara. Arief Budiman memulainya dari kenangan Asrul Sani. “Di Jalan Juanda (Jakarta) dulu ada dua toko buku, yang sekarang jadi kantor Astra. Namanya toko buku Kolf dan van Dorp. Koleksinya luar biasa banyak. Saya dan Chairil suka mencuri buku di situ,” begitu Asrul Sani pernah bercerita. “Suatu kali kami melihat buku Friedrich Nietzsche, Also Sprach Zarathustra. `Wah, itu buku mutlak harus dibaca,’ kata Chairil pada saya. `Kau perhatikan orang itu, aku mau mengantongi Nietzsche ini.’ Chairil memakai celana komprang dengan dua saku lebar, cukup besar untuk menelan buku itu.” Buku-buku filsafat, termasuk buku Nietzsche tadi, diletakkan di antara buku-buku agama. Kebetulan buku Nietzsche ukuran dan warna sampulnya yang hitam persis betul dengan kitab Injil. “Sementara Chairil mengantongi buku, saya memperhatikan pelayan toko,” kata Asrul. “Hati saya deg-degan setengah mati. Setelah buku berpindah tempat, kami lantas keluar dari toko dengan tenang. Tapi sampai di luar tiba-tiba Chairil terkejut, `Kok ini? Wah, salah ambil aku!’ sambil tangannya terus membolak-balik buku. Rupanya Chairil salah mengambil Injil. Kami kecewa sekali.”

Read the rest of this entry »





JAHJA DATOEK KAJO

21 03 2011

Oleh : Suryadi

JAHJA DATOEK KAJO mungkin boleh dibilang sebagai pejuang bahasa Indonesia. Dia adalah penganjur gigih penggunaan bahasa Indonesia di Volksraad (Dewan Rakyat) di zaman kolonial. Biografi dan kiprah politik Jahja dapat dibaca dalam buku Azizah Etek dkk., Kelah Sang Demang: Jahja Datoek Kajo, Pidato Otokritik di Volksraad 1927-1939 (Jakarta: LKiS, 2008). Dalam buku ini para penulis menghimpun naskah-naskah pidato Jahja yang disampaikannya dalam sidang-sidang Volksraad.

Jahja dua kali terpilih mewakili masyarakat Minangkabau di Volksraad: periode 1927-1931 dan 1931-1935. Jahja lahir di Koto Gadang pada 1 Agustus 1874 (ayah: Pinggir, bersuku Sikumbang; ibu: Bani, bersuku Piliang). Masa muda Jahja dijalaninya bersama mamaknya, Lanjadin Khatib Besar gelar Datoek Kajo, yang pernah menjabat sebagai kepala gudang kopi di Baso.

Read the rest of this entry »