Dr. Ir. Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib, M.Si

22 05 2009

Oleh : Yusrizal KW / http://padang-today.com

Memaknai Hidup Dengan Kearifan Keluarga

thumb_raudah thaibIbunya, Puti Reno Disma Yang Dipertuan Gadih Gadang, suka mengajukan pertanyaan pada dirinya, yang kemudian dinilainya sangat berarti. Ayahnya, Muhammad Thaib Datuk Penghulu Basa, seorang guru sejarah dan bahasa Inggris, suka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. “Dari ibu saya mewarisi kegemaran bertanya sebagai perwujudan ingin tahu, dari ayah saya mendapatkan pengetahuan agama, sejarah, alam semesta, sorga dan neraka sebagai jawaban pengetahuan,” katanya, sembari tersenyum. Ia kemudian menyebut kedua orangtuanya sama-sama keturunan dari keluarga Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung.

Ia bernama lengkap, Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung. Puti Reno di depan namanya, merupakan nama keluarga yang mengikuti garis matrilineal dari keturunan Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung. Raudhatul Jannah, berarti taman sorga. Thaib, nama sang ayah, yang berarti baik. Sedangkan Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung, gelar yang diwariskan secara turun temurun menurut garis matrilinial. “Gelar itu telah diwariskan kepada kami, enam orang anak perempuan di dalam kaum Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung, sewaktu ibu kami Puti Reno Disma Yang Dipertuan Gadih Gadang mangkat 10 Juni 2007 lalu,” terang perempuan yang memiliki sapaan hangat, Upik. Di kalangan kaum intelektual, terutama masyarakat kebudayaan, ia popular dengan nama yang semasa SMA dipendekkannya menjadi Raudha Thaib.

Ada beberapa nama yang terpatri dalam pembelajaran diri seorang Raudha Thaib secara arif dalam lingkungan keluarga, selain ayah dan ibunya. Ia menyebut: Neneknya Puti Reno Aminah Yang Dipertuan Gadih Hitam dan Mamaknya, Sutan Usman Yang Dipertuan Tuanku Tuo yang disebutnya Mak Wan. Kemudian, suaminya: Wisran Hadi, tokoh teater Indonesia, sastrawan dan budayawan terkemuka asal daerah ini, cukup dikenal dengan cerita “Jilatang” serta “Kabagalau” di koran ini.

Pada ibu, Upik belajar pentingnya sebuah pertanyaan untuk menjawab berbagai persoalan, mendengar untuk memahami, mengapresiasi anak dengan ketulusan. Karena ibu pulah, akhirnya Upik menjadi orang yang suka mempertanyakan sesuatu, apakah tentang keluarga, sejarah, kehidupan dan sebagainya. Pada ayah ia belajar, betapa menjadi manusia itu penting memiliki ilmu pengetahuan, baik untuk hidup dunia akhirat. Pada nenek, ia banyak belajar tentang kearifan, kepekaan lingkungan, pantun serta pentingnya memerdekakan diri untuk keinginan positif. Pada Mak Wan ia belajar pentingnya mengenal dan mengapresiasi orang lain, mengenal para tokoh di lingkungan sendiri, silaturrahmi serta mengenal lingkungan secara lebih dekat. Pada Wisran Hadi ia mendapatkan bagaimana menyalakan logika, menjungkirbalikkannya, serta pentingnya memahami sejarah, filsafat dan psikologi. Kesemuaan itu, katanya, merupakan bagian dari pembelajaran yang bisa disebut sebagai mengedukasi diri pada kearifan keluarga dan lingkungan untuk menjadikan diri jauh lebih baik.

Mengemis dan Kulin Elang

Sebagai anak dari keturunan keluarga Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung, tentu Upik dikenal luas, terutama di sekitar Istano Silinduang Bulan Batusangkar. Upik tersenyum, ketika hari ini dia mengingat masa kecil, ketika masih di SD. Tak terlupakan, ketika suatu hari, bersama teman sebaya ia mengemis di pasar Batusangkar. Menadahkan tangan, minta sedekah. Cring! Recehan ia dapat.

Karena dari keluarga terpandang dan cukup dikenal, kabar Upik kecil mengemis sampai ke telinga keluarga. Bagi orang tertentu, mungkin Upik layak dimarahi, karena merusak kehormatan keluarga. Tapi, alasan Upik yang kuat, membuat ibunya yang suka bertanya dan memahami itu, mengangguk dan tersenyum. “Saya hanya ingin mencoba, merasakan bagaimana jadi pengemis itu, Ibu,” begitu kurang lebih jawab Upik kala itu. Artinya, memang, hidup kadang membutuhkan pengalaman, untuk mengasah kelembutan hati, kepedulian sosial.

Ketika kita menyebutnya sebagai penyair, lesatan bayangan nenek menghampiri Upik. Serta merta ia ingat kulin elang. Yah, kulin elang itu, selalu disambut oleh neneknya dengan pantun-pantun yang ritmis. Kata sang nenek kala itu, elang berkulin, bisa juga ditafsir sebagai kaba sansai orang rantau. Ungkapan tersebut imajinatif sekali. Bagai ruh sastrawi yang ditiupkan ke dalam diri Upik.

Dan memang, kemudian, ia menjadi penyair Indonesia dengan nama samaran Upita Agustin (Upita berarti Upik Tando karena dia memiliki tando di kaki, Agustin bulan kelahirannya), dan karyanya sudah banyak dibukukan. Salah satunya Nyanyian Anak Cucu, terbit tahun 2000. Bagi Upik, pantun nenek, kulin elang dan satu lagi: kebiasaan nenek menyuruhnya mencatatkan mantera-mantera dari orang yang datang kepada ke rumahnya, apakah itu mantera pekasih, obat, pagar diri dan sebagainya ternyata menumbuhkan kesadaran puitikanya, sehingga ia merasa ada yang menuntun mencatat sesuatu yang kemudian ia sebut puisi. “Nenek memberi napas pada pantun, saya memaknai hidup dengan puisi,” kata Upik, sembari mengutipkan lirik puisinya: Kusemaikan benih kehidupan/Kupetik dari pohon/Nenekku.

Ia merasa beruntung, karena, waktu dia kecil neneknya selalu mendongengkan cerita-cerita untuknya menjelang tidur. Kini dia telah menyadari, ternyata lingkungan keluarga, juga merupakan sekolah kepribadian paling hebat kalau bisa mewarnai dengan pengetahuan yang baik. Nenek membiarkannya ikut berburu dengan tua buru yang dikenalnya, membiarkannya ke sawah sendiri dengan menyediakan lahan untuk dikerjakannya sendiri dalam usia kanak-kanak, nenek juga membiarkannya mencari cendawan, mencari belalang, main kelereng, layang-layang serta memetik arbei bersama anak-anak kampung lain. Dari situ, Upik menyimpulkan, walau hadir dari keluarga yang khusus di mata masyarakat, tetapi bukan alasan untuk membeda-bedakan status diri pada orang lain dan lingkungan. Semua sama.

Nenek adalah keharuan! Upik ingat, ketika tahun 1965, ia diutus turun dalam Lomba Lompat Jauh pada PON V di Bandung. Ketika itu rumahnya baru saja terbakar. Semua habis. Upik pulang, dan bonus yang dia dapat dibelikan piring untuk nenek sebagai hadiah. Nenek mencium berkali-kali piring itu. Ia merasa terharu, apalagi piring itu sampai akhir hayatnya nenek, masih tersimpan rapi, dan tak boleh dipakai, karena nilainya penting. Hingga kini, menatap piring dalam lemari itu, Upik seakan mencatat pesan: memberi dan menerima dengan bahagia, adalah hal penting untuk mewarnai semangat hidup.

Ayah dan Makwan, Sisi Lain yang Penting

Mungkin spirit pemikir Islam Ali Syariati sejalan dengan apa yang dipikirkan ayah Upik tentang buku, bahwa, sediakanlah buku di rumahmu, sehingga ketika batin atau nurani kita lapar, ia bisa mencari makanannya sendiri di rumahnya, membuat sang ayah rajin membelikan Upik buku. “Ayah selalu membelikan buku bacaan untuk saya,” katanya. Ayah Upik dikenal sebagai seorang pemeluk Islam yang taat. Dikenang Upik, mulai dari kisah para nabi, pengetahuan agama, sejarah orang terkemuka dunia dan lainnya, selalu dibelikan ayah. Bahkan ketika ayahnya berada di Jakarta, kala Upik duduk di bangku SMA, ayah juga mengirimi buku. Tak heran, jika kini kita berkunjung ke rumahnya di Wisma Indah Lapai, Gang Gelugur H-2, Padang kita mendapatkan sepertiga ruangan penuh dengan koleksi buku dirinya dan keluarga.

Lalu ia menyebut Mak Wan, saudara laki-laki dari ibunya. Terbayang oleh Upik, Mak Wan memboncengnya dengan sepeda keliling kampung. Ternyata raun sepeda yang dirasakan Upik kala itu, mengemban nilai pendidikan. Mak Wan memberitahu padanya tempat tertentu, memperkenalkannya kepada banyak orang, tokoh serta para pemangku adat yang ditemui di sekitar kampung. Mak Wan juga mendidik Upik pentingnya mengenal orang, menghormati serta menghargai keberadaan orang lain. Juga nilai-nilai kehidupan, baik adat dan budaya di lingkungan masyarakat Minang, tentu diajarkan Mak Wan. Hal itu pulalah, yang diterapkan Upik kepada anak-anaknya. Meskipun anak-anaknya sudah dewasa, harus bersilaturrahmi, menemui sanak saudara, terutama mereka yang berusia lebih tua.

Kebijaksanaan Mak Wan ia ingat kala menyemangati dirinya, untuk ikut pilihan keluarga masuk ke Fakultas Pertanian. “Masyarakat kita orang tani, Nak. Sebaiknya salah seorang dari keluarga kita, menjadi ahli pertanian,” kata Upik mengulang apa yang pernah disampaikan Mak Wan. Upik mengangguk. Dan, 14 November 2007 lalu, ia menyampaikan disertasi dalam Sidang Ujian Terbuka Program Pascasarjana Universitas Andalas, Padang dengan judul Regenerasi in vitro tanaman enau (Arenga pinnata Merr), melalui embriogenesis. Untuk bidang telitiannya, ia adalah pakar langka saat ini di tanah air.

Secara filosofis, pertanian, katanya, bisa dimaknai tentang kekuatan dan kodrat tumbuh yang disembunyikan Tuhan di balik benih-benih dan kecambah, proses penciptaan, kerusakan dan pelapukan. Kesemuaan itu, menurut Upik, tidak hanya berlaku dalam dunia pertanian saja. Tetapi juga dalam kehidupan manusia.

Cara pandang pembelajaran diri seorang Upik, bisa berarti: kita bisa banyak belajar pada banyak orang untuk banyak hal.

Pemikiran Adat dan Budaya Minang

Upik banyak dijadikan tempat bertanya, dan tentu, nara sumber untuk berbagai seminar kebudayaan dalam arti luas. Pendidikan dari dalam keluarga, hingga pendidikan formal, membuatnya memiliki padu padan wawasan, mulai dari soal sastra, adat, budaya hingga pertanian..

Menyinggung masalah adat dan budaya Minangkabau misalnya, Upik mengingatkan, pentingnya kita (keluarga Minang) memahami Islam, juga adat dan budaya Minangkabau. Ia menganologikan dengan sederhana. Bahwa adat dan budaya Minangkabau, menurutnya, sebagai sebuah pakaian, cara membuat pakaian, warnanya, bahan, dan sebagainya. Sedangkan Islam mengatur pemakaiannya; tata cara berpakaian. Bila pakaian-pakaian tertentu dipakai, bagaimana sikap seseorang yang berpakaian dan sebagainya..

Oleh karena itu, dalam pepatah adat Minang dikatakan syara’ batilanjang, adat basisampiang. Artinya, syara’ atau Islam bicara tentang aturan-aturan secara tuntas dan jelas, sedangkan adat dalam penerapannya disertai oleh kebijaksanaan-kebijaksanaan.

Dalam konteks kesejarahan dikatakan bahwa; adat dan budaya Minangkabau dapat menjadi sejalan dengan ajaran Islam, disebabkan ajaran Islam berhasil mengakomodasi ajaran adat secara tepat.

Upik menyontohkan, jika adat dan budaya Minangkabau mempunyai kawasan aktivitasnya hanya selagi manusia itu hidup, maka ajaran Islam mengajarkan kemana manusia setelah hidup, dan dari mana datangnya manusia itu. Maka di dalam pepatah adat dikatakan; syara’ mandaki, adat manurun. Syara’ mandaki bermaksud bahwa ajaran-ajaran Islam menjelaskan sesuatu dari tiada kepada ada, sedangkan adat manurun bermaksud bahwa ajaran-ajaran adat itu diberlakukan kepada manusia dengan keturunan mereka berikutnya.

Dari interaksi kedua ajaran itulah, ditegaskan Upik, timbulnya adagium adat Minangkabau; Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah.

Doktor Anau dari Pagaruyung

Enau atau anau membutuhkan waktu lama untuk berkembang biak. Sementara petani, untuk menambah jumlah tanaman enau, masih menggunakan cara alami: menanam bijinya. Padahal, biji enau memiliki masa tidur (dorman) sampai setahun.

Hal itulah yang membuat Raudha Thaib sebagai ilmuwan penasaram, kemudian termotivasi untuk menemukan cara lain, yakni, bagaimana mengurangi masa tidur dan jumlah tanaman baru yang dihasilkan tak hanya satu batang.

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas ini pun tersenyum. “Alhamdulillah, untuk langkah awal saya berhasil dan dari situ pulalah saya bangga menyandang gelar doktor dengan bidang telitian dan temuan yang terbilang langka,” kata penulis buku Seri Alam Minangkabau “Nik Reno jo Cucunyo” berbinar.

Menurutnya, tanaman enau bisa dikembangbiakan secara buatan, baik rekayasa genetika atau kultur jaringan. Hal itu, karena Upik, menemukan cara untuk menghilangkan senyawa fenolik yang membuat biji enau berada dalam masa tidur yang lama. Upik menerangkan dengan jabaran ilmiah, hal itu dalam disertasi doktoral berjudul Regenerasi In Vitro Tanaman Enau (Arenge pinnata Merr.) melalui Embriogenesisi Somatik. Dengan ditemukan teknik tersebut, pengembangbiakan enau bisa dilakukan lebih cepat lagi.

Temuan Upik menghasilkan, masa dorman enau bisa dikurangi sampai 141,07 hari. Sementara itu, jumlah tanaman baru yang dihasilkan, tak lagi satu batang sebagaimana selama ini pola alami. Tetapi bisa mencapai 6-21 batang. “Temuan saya ini sebuah langkah awal, dan dalam waktu dekat belum bisa diaplikasikan oleh petani,” kata Upik, yang meraih doktor di usia 60 tahun ini menambahkan, kerja ilmuwan sesungguhnya mencari formula yang memudahkan petani/orang lain memanfaatkannya.

Upik mengenal enau- dan tentu paham akhirnya—dari lingkungan masa kecilnya di Istana Pagaruyung Batusangkar. Yang menarik bagi Upik, baik dari ilmu pertanian, sosial dan budaya, hampir seluruh bagian dari enau, bisa bermanfaat bagi masyarakat. Ijuknya untuk atap rumah, niranya untuk gula aren atau cemilan gula-gula, daunnya yang telah dibuang lapisan lilinnya untuk pembungkus rokok.

“Banyak sekali manfaat anau ini,” tukas upik, dan, ia menambahkan, ijuknya digunakan sebagai atap, seperti rumah gadang atau Istana Pagaruyung yang terbakar Februari 2007, berfungsi untuk menahan hawa panas dari luar. Efeknya, hawa sejuk dari dalam yang ditawarkan ijuk tersebut.

Mantan atlit PON V dari Sumbar ini tertarik dengan enau, karena menurut pencermatannya, enau bagi masyarakat Minang, tidak semata tanaman yang memberi pemasukan secara ekonomi. Tetapi, enau juga merupakan tumbuhan konservasi. Tumbuhan seperti ini tidak boleh ditebang sembarangan. Hukum adat di Minangkabau, ditegaskan Upik, melindungi tumbuhan yang ada di hutan.

“Bicara soal kenservasi, sesungguhnya dibutuhkan kearifan lokal. Ternyata saat ini, kearifan lokal itu pula yang mulai runtuh,” kata Upik risau. Keturanan ke-13 Raja Pagaruyung ini menjelaskan, kearifan lokal memiliki kekuatan sosial dan kultural semestinya, termasuk melindungi hutan. Sayang, banyak yang mengabaikan nilai kearifan lokal, hutan ditebang liar oleh mereka dengan kekuatan uang, hingga bencana datang pun kita tak arif apa penyebabnya.

Dalam enau, kata salah seorang dewan pakar Gebu Minang ini, tersirat nilai pelestarian lingkungan yang penting dianut masyarakat. Untuk tanaman enau ini misalnya, bisa hidup pada kemiringan tanah sampai 20 derajat, serta sebaran akar serabutnya hingga 10 meter dengan kedalaman tiga meter.

Upik berharap, penelitiannya ini bisa memberi sumbangan positif bagi perkembangan ilmu dan teknologi budidaya tanaman enau. Setidaknya merupakan informasi dan acuan dalam melakukan perbanyakan dan perbaikan tanaman enau melalui embriogenesis somatik dapat menghasilkan bibit enau berkualitas tinggi, mempunyai kemampuan adaptasi dengan lingkungan, dalam jumlah yang banyak dan waktu yang relatif singkat. (Yusrizal KW)


Actions

Information

10 responses

8 06 2009
Cerita Panas Dewasa

Sangat inspiratif dan bermanfaat, makasih banyak ya….

25 12 2009
helmidjas hendra

Batanyo ciek, nan Puti Reno ko balain urangnyo jo Upita Agustin sang penyair nan urang rumah senior ambo uda Wisran Hadi. Kok salah mintak maaf ambo da Wis.

25 12 2009
helmidjas hendra

Batanyo ciek, sanak. Nan Puti Reno ko balain urangnyo jo Upita Agustin sang penyair, urang rumah senior ambo Uda Wisran Had ?. Kok kaliru ambo, agih maaf da Wis.

25 01 2010
Suryadi

Satuju ambo jo Ibu Puti Reno. Semoga Ibu Puti Reno terus berkarya. Salam untuk Pak Wis. Lah gak lamo indak basuo jo baliau. Lah diarak untuang parasaian ambo di rantau urang.

8 04 2010
Eva Desmira Chaniago

salam kenal dan hormat tuk Bunda Puti Reno…., dimana ya saya bisa share dengan beliau….

1 01 2011
Mhd.Irwan

Buk Reno, bagai mana saya bisa mendapatkan bibit aren unggul yang ibuk ciptakan, rencananya saya mau bertanam aren, lahan saya 1 ha. terima kasih

11 11 2011
Silsilah Keturunan Raja Alam Pagaruyung « Paco Paco

[…] https://urangminang.wordpress.com/2009/05/22/dr-ir-puti-reno-raudhatul-jannah-thaib-m-si/ LD_AddCustomAttr("AdOpt", "1"); LD_AddCustomAttr("Origin", "other"); LD_AddCustomAttr("theme_bg", "ffffff"); LD_AddCustomAttr("theme_text", "545454"); LD_AddCustomAttr("theme_link", "006a80"); LD_AddCustomAttr("theme_border", "cccccc"); LD_AddCustomAttr("theme_url", "8fbf60"); LD_AddCustomAttr("LangId", "1"); LD_AddCustomAttr("Autotag", "technology"); LD_AddCustomAttr("Tag", "kerajaan"); LD_AddCustomAttr("Tag", "literatur"); LD_AddCustomAttr("Tag", "silsilah"); LD_AddCustomAttr("Tag", "tarikh"); LD_AddSlot("wpcom_below_post"); LD_GetBids(); Rate this: Share this:FacebookTwitterEmailPrintLike this:LikeBe the first to like this post. Translate to Kerabat […]

9 09 2012
ade

maaaf boleh saya bertanya adakah gelar bangsawan di batusangkar yang bergelar tuanku datuk bagindo darau putih terima kasih tolong coment nya

18 02 2013
peggy imelda

saya ingin bertanya apakah ada gelar di saruaso datuk bandaros hati dan malin merajo , terima kasih

12 10 2013

Leave a reply to Suryadi Cancel reply