Syofyani Yusaf, Dra.

3 03 2010

Mengabdikan Hidup Pada Kesenian

Dalam adat Minangkabau, pada zaman dahulu ada semacam aturan yang melarang anak perempuan untuk memamerkan tubuhnya dihadapan umum. Sebagai contoh, untuk jenis kesenian randai, bila ada peran perempuan selalu dimainkan oleh lelaki. Begitulah pantangannya. Apalagi untuk menari yang jelas-jelas mengeksploitasi tubuh dalam berbagai gerakan-gerakan, bagaimana mungkin ia bisa leluasa menyalurkannya? Tapi hal yang tidak mungkin itu menjadi mungkin bagi kehidupan Syofyani.

Ia termasuk beruntung, sebelumnya, sekitar tahun 30-an di Sumatera Barat muncul organisasi Islam yang moderat dan toleran seperti Muhammadiyah. Pandangan kaku yang mengharuskan wanita itu dipingit berangsur-angsur mulai disingkirkan. Bagi ajaran itu, kaum perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam kehidupan.

Read the rest of this entry »





Dr. Ir. Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib, M.Si

22 05 2009

Oleh : Yusrizal KW / http://padang-today.com

Memaknai Hidup Dengan Kearifan Keluarga

thumb_raudah thaibIbunya, Puti Reno Disma Yang Dipertuan Gadih Gadang, suka mengajukan pertanyaan pada dirinya, yang kemudian dinilainya sangat berarti. Ayahnya, Muhammad Thaib Datuk Penghulu Basa, seorang guru sejarah dan bahasa Inggris, suka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. “Dari ibu saya mewarisi kegemaran bertanya sebagai perwujudan ingin tahu, dari ayah saya mendapatkan pengetahuan agama, sejarah, alam semesta, sorga dan neraka sebagai jawaban pengetahuan,” katanya, sembari tersenyum. Ia kemudian menyebut kedua orangtuanya sama-sama keturunan dari keluarga Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung.

Ia bernama lengkap, Puti Reno Raudhatul Jannah Thaib Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung. Puti Reno di depan namanya, merupakan nama keluarga yang mengikuti garis matrilineal dari keturunan Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung. Raudhatul Jannah, berarti taman sorga. Thaib, nama sang ayah, yang berarti baik. Sedangkan Yang Dipertuan Gadih Pagaruyung, gelar yang diwariskan secara turun temurun menurut garis matrilinial. “Gelar itu telah diwariskan kepada kami, enam orang anak perempuan di dalam kaum Ahli Waris Daulat Yang Dipertuan Raja Pagaruyung, sewaktu ibu kami Puti Reno Disma Yang Dipertuan Gadih Gadang mangkat 10 Juni 2007 lalu,” terang perempuan yang memiliki sapaan hangat, Upik. Di kalangan kaum intelektual, terutama masyarakat kebudayaan, ia popular dengan nama yang semasa SMA dipendekkannya menjadi Raudha Thaib.

Read the rest of this entry »





Rahmah el Yunusiyyah

2 09 2008

Oleh : Singgalang
Pahlawan Muslimah tanpa Penghargaan

KEBENCIAN Soekarno kepada Muhammad Natsir, tidak kurang sama kepada muslimah yang satu ini. Sejarah perjuangannya, yang menghantarkan para muridnya menjadi pahlawan atau petinggi negara di Malaysia dan Indonesia, luput dalam catatan sejarah keteladanan bangsa. Ia miskin kupasan dan ekspos pemberitaan media. Tapi bagaimana pun, nama seperti Rangkayo Rasuna Said yang kini diabadikan sebagai salah satu jalan di Jakarta, dan digelari pahlawan adalah anak didiknya sendiri. Tan Sri Datin Aisyah Gani yang menjabat sebagai Menteri Am Kebajikan Malaysia selama 12 tahun (1972-1984) di masa kepemimpinan Dato’ Mahatir Muhammad, adalah santri kesayangannya.

Siti Zubaidah yang berdomisili di Selangor, pernah menjadi ketua Dewan Muslimat PAS pertama dan dilanjutkan berikutnya oleh Datin Sakinah juga sama-sama dari Diniyyah Puteri. Santrinya yang lain adalah Salmah Husain, pernah menjabat sebagai direktur Bank Rakyat Malaysia. Tercatat, kedua orang pertama ini masih hidup dan sempat penulis kunjungi bersama Pimpinan Perguruan Fauziah Fauzan, SE, Akt, M.Si dan Kabid Pendidikan Pengajaran Hj. Meuthia Nilda, BA, di awal Desember 2007 lalu di negeri jiran Malaysia.

Read the rest of this entry »





Hj.Rosma

28 07 2008

Pengabdian Ibu Yang Tidak Berbatas

Oleh : Nita Indrawati/ Padangkini.com

Hj. Rosma, memiliki ribuan anak jahit
yang pernah belajar di rumahnya.

Memasuki usia 82 tahun pada 10 Agustus mendatang, Hj. Rosma tampak tak banyak berubah. Semangat dan motivasinya untuk membangun daerah melalui pendidikan ketrampilan masih tergolong tinggi. Ia merasa perjuangannya belum selesai. Masih banyak yang harus ia kerjakan.

Ketuaan tak jadi hambatan bagi Rosma. Ia tetap terampil mendesain motif dan masih telaten mengajarkan anak didiknya menyulam dan membordir. Mata tuanya masih betah berlama-lama mengamati jahitan hasil karya anak didiknya. Dari desa Bonjo Panampuang, Ampek Angkek Canduang, kabupaten Agam, masih terdengar deru mesin jahit yang didengungkan oleh anak-anak didiknya.

“Jumlah anak-anak yang belajar disini memang makin sedikit. Dibanding pada tahun 70-an, jauh bedanya. Kalau pada masa itu dalam setahun saja jumlah anak-anak yang belajar sampai ratusan bahkan ribuan, sekarang tak sampai 100 orang, ” ungkap Rosma kepada padangmedia.com, suatu hari ketika berkunjung ke rumahnya. Saat ini di rumah jahitnya sekitar 20 anak rutin belajar menjahit saban hari. Bulan Agustus mendatang diperkirakan akan bertambah 10 orang dari Pekan Baru dan 10 orang dari Padang.

Hj. Rosma sendiri juga heran, kenapa semangat juang anak muda sekarang semakin rendah. Tidak seperti dulu, ketika anak-anak didiknya, terdiri dari remaja putus sekolah datang dari berbagai pelosok, ingin belajar menjahit dan membordir. “Apakah remaja sekarang memang begitu ? Mereka tidak tertarik lagi belajar menjahit. Yang saya lihat, banyak dari mereka lebih suka menjadi pelayan toko dari pada belajar menjahit. Padahal dengan belajar menjahit mereka akan memiliki keahlian seumur hidup. Mungkin karena belajar ini butuh perjuangan. Sementara jadi pelayan toko, bisa instan, kerja sebulan, langsung dapat gaji. Padahal berapalah gaji sebagai pelayan toko yang cuma tamat SMA,” papar Rosma yang masih dipercaya menjadi Ketua Bundo Kanduang di Agam. Padahal ia sudah berkali-kali mengusulkan agar posisinya digantikan oleh yang lebih muda.

Read the rest of this entry »





Melanie Putria Dewita Sari

30 06 2008

Dara Minang, Putri Indonesia 2002

Setelah melalui proses pemilihan yang ketat, Melanie Putria Dewita Sari(20), mahasiswi, wakil dari Sumatera Barat, terpilih menjadi Putri Indonesia 2002. Pemilihan kali ini diikuti oleh 34 finalis yang mewakili 30 provinsi di Indonesia (DKI Jakarta diwakili empat finalis). Rissa Susmex, puteri asal Aceh yang pernah menjadi juara pidato berbahasa Spanyol di Venesia, terpilih sebagai runner up satu. Runner up dua adalah finalis asal DKI Jakarta, Sagita Sinta Pratiwi. Fransisca Sani Laurent (Papua) sebagai putri persahabatan, sementara favorit pemirsa adalah Komang Ayu Butiny (Bali).

Sebagai Putri Indonesia 2002, Imel menerima hadiah antara lain adalah rumah dinas, mobil dinas, dan uang sejumlah Rp25 juta. Juara lomba nyanyi Asia Bagus 1999, peraih medali emas paduan suara di Austria dan juga Miss London School ini akan bertugas sebagai duta Indonesia, di antaranya di bidang pariwisata, seni dan kebudayaan, serta kampanye antinarkoba selama setahun mendatang.

Setelah sepuluh hari berada dalam karantina panitia, pada malam final pemilihan Putri Indonesia 2002 di Teater Tanah Airku, TMII, Jumat (12/7/02), 34 finalis disaring lagi berturut-turut menjadi kelompok 10 besar, 5 besar, hingga 3 besar. Di setiap babak, dewan juri yang terdiri dari 11 orang dari berbagai kalangan meminta kontestan untuk beropini tentang suatu hal. Mulai masalah sosial, teknologi, pariwisata, hingga pengetahuan umum.

Ketua Dewan Juri, Kusumadewi, menilai Imel, panggilan akrab Melanie, terlihat sangat menonjol. “Saat menjawab berbagai pertanyaan yang disampaikan kepadanya, ia tampak yakin, percaya diri. Ia memberi jawaban yang sangat berbobot,” tutur Kusumadewi kepada Media. Selain itu, lanjutnya, Imel memiliki inner dan outer beauty. Selain cantik, Imel selalu menunjukkan sikap yang santun dan relijius.

Read the rest of this entry »





Sanuar

22 05 2008

Menghidupkan Kembali Tenun Pandai Sikek

Oleh: Syofiardi Bachyul Jb/Padangkini.com

Di zaman serba pabrikasi seperti sekarang, termasuk dalam pembuatan kain untuk pakaian, pasti banyak orang yang tidak percaya bahwa pembuatan kain dengan menggunakan keterampilan tangan dan alat sederhana dalam menenun masih ada dan tetap berkembang sampai saat ini.
Tetapi tidak begitu halnya di Pandai Sikek, sebuah nagari (setingkat desa) di Kabupaten Tanah Datar yang terletak di kaki Gunung Singgalang, di kiri jalan raya 10 km menjelang Bukittinggi dari Padang.
Di Pandai Sikek yang udaranya dingin itu, saat ini terdapat 27 pengusaha tenun (sering disebut songket atau tenunan yang bersulam benang emas atau perak) dengan 857 penenun yang umumnya perempuan muda. Rata-rata dalam satu bulan, seorang penenun bisa menghasilkan selembar kain (untuk sarung) atau selendang dengan motif paling sederhana.
Pandai Sikek merupakan satu dari tujuh nagari di Minangkabau yang masyarakatnya secara turun-temurun sejak ratusan tahun terkenal sebagai perajin tenun. Nagari lain adalah Pitalah dan Sungayang (Tanah Datar), Silungkang (Sawahlunto), Kotogadang (Agam), Koto Nan Ampek dan Kubang (Limapuluh Kota). Aktivitas perajin ini berkaitan dengan supplay untuk pakaian upacara adat, seperti melantik penghulu, pesta perkawinan, dan sebagainya.
Read the rest of this entry »





Professor Dr. Ir. Syafrida Manuwoto M.Sc,

8 05 2008

Menjelang memasuki usia pensiun yang tidak berapa lama lagi, ada baiknya kita memperkenalkan padusi Minang yang bergelut didunia ilmu pertanian khususnya dibidang Ilmu Hama Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, IPB ini. Beliau adalah Professor Dr. Ir. Syafrida Manuwoto M.Sc, dilahirkan di kota Medan pada tanggal 15 Mei tahun 1944. Ia adalah putri ke 2 dari 7 bersaudara pasangan alm Nukman pensiunan perwira POLRI berpangkat Komisaris Besar Polisi, yang berasal dari kota Padang dengan almh Syamsiah, yang berasal dari kota Padangpanjang.
Read the rest of this entry »





Wirda Hanim

6 05 2008

Menghidupkan Kembali Batik Tanah Liek

Oleh: Syofiardi Bachyul Jb/Padangkini.com

Suatu hari pada 1993, Wirda Hanim yang sudah lama tinggal di Kota Padang mengikuti pesta adat di kampung asalnya, Kenagarian Sumani, Kabupaten Tanah Datar.
Ia melihat beberapa pria dan wanita memakai selendang batik tanah liat yang dalam bahasa Minang disebut “batik tanah liek”. Meski selendang tersebut sudah usang dan robek di sana-sini karena lapuk, namun mereka masih memakainya sebagai bagian dari pakaian adat tradisional Minangkabau.
Wirda melihat, mereka memakainya dengan sangat hati-hati, seperti menjaganya agar tidak robek. Setelah mencari informasi, barulah ia ketahui bahwa mereka melakukan hal seperti itu karena batik tanah liek sudah langka, sebab tak lagi dibuat orang sejak sekitar 70 tahun lalu.
Batik tanah liek adalah batik khas Minangkabau yang motifnya dibuat dari pewarna berbahan tanah liat. Tak ada catatan sejarah sejak kapan kerajinan batik tanah liek muncul di Sumatera Barat. Diduga batik ini muncul dari pengaruh kebudayaan Cina dan hanya dibuat beberapa orang perajin seperti di Tanah Datar. Tapi kerajinan ini hilang tanpa jejak sejak zaman peperangan, mungkin zaman pendudukan Jepang.
Read the rest of this entry »