Chatib Soelaiman

2 02 2008

Sekilas Tokoh Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 ,

Chatib Soelaiman, Kesempurnaan Seorang Pahlawan 

Dia tidak hanya seorang pemimpin di medan perang. Tapi juga pemikir dengan bejibun teori. Dia bukan sekedar seniman dan penulis hebat. Tapi juga tokoh  yang taat beragama dan tahu adat. Dia tidak cuma kekasih yang romantis, tapi juga kawan yang setia!
Bila ada alasan, kenapa Sumatera Barat harus dikenang sepanjang massa, barangkali nama besarnya adalah salah satu jawaban. Itulah dia Chatib Soelaiman. Mantan Ketua MPRD Sumbar yang gugur dalam Peristiwa Situjuh 1 Januari 1949 ini, memang seorang pahlawan sempurna.  Ulama legendaris ranah Minang Haji Abdul Malik Karim Amarullah alias Buya Hamka, dalam kenangannya dengan gamblang mengatakan, perjuangan di Sumbar tidaklah dapat memisahkan nama Chatib Soelaiman, baik di zaman Belanda ataupun pendudukan Jepang, apalagi di zaman sesudah proklamasi.
Chatib Soelaiman menurut sejarah terlahir di Sumpur tahun 1906, sebagai anak kelima dari 8 bersaudara, ibunya bernama Siti Rahma, sedangkan ayahnya adalah Haji Soelaiman. Usia 6 tahun (1912), dia bersekolah di Gouvernement Benteng (Sekolah Dasar) Padang. Kemudian berniat memasuki MULO. Tapi untuk memasuki MULO, anak didik haruslah tamatan HIS, semacam sekolah dasar yang menjadikan Bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar.
Karena untuk masuk HIS, murid-murid harus dilihat status sosial orangtuanya, dan kedudukan dalam stetsel pemerintah Belanda, atau ketaatan kepada pemerintah Belanda, misalnya dalam membayar pajak, Chatib Soelaiman tidak bisa memasuki HIS milik pemerintah. Untung, ada kawan ayahnya yang berbaik hati, sehingga Chatib bisa masuk HIS Adabiyah, sebuah perguruan swasta yang setingkat dengan HIS Pemerintah.
Setamat dari HIS pada tahun 1919, Chatib Soelaiman baru bercita-cita untuk meneruskan ke MULO. Sayang beribu kali sayang, usaha ayahnya ternyata pailit atau mengalami gulung tikar. Bagaimana mungkin bisa sekolah, jika biaya tidaklah ada. Tapi Chatib tidak menyerah. Berkat bantuan Inyiak Basa Bandaro, lagi-lagi soerang kawan ayahnya yang merupakan tokoh pergerakan dan saudagar di Pasa Gadang, Chatib akhirnya bisa masuk MULO. Cuma sayang, jenjang pendidikan ini tidak selesai ditamatkan oleh Chatib Soelaiman, karena dia justru lebih menekuni dunia seni. Ya, Chatib mulai-mulai ‘tergila-gila’ menggesek Biola.
Jiwa Seniman dan Tentang Pernikahan
‘Kegilaan’ Chatib akan biola, telah berhasil membuatnya menjadi seorang Violis atau penggesek biola terkenal di Kota Padang. Bahkan, dia juga sering untuk mengiringi film-film bioskop yang saat itu masih disebut film bisu alias tanpa suara. Chatib Soelaiman yang terbiasa menikmati kesulitan hidup, mengakhiri masa lajangnya pada tahun 1938. Dia “dinikahkan” dengan gadis sekampung bernama Zubaidah. Dalam pernikahan gaya Siti Nurbaya ini, Chatib Soelaiman memang kurang harmonis. Mungkin karena istrinya Zubaidah berasal dari keluarga berada. Sehingga faktor materi termasuk dalam kalkulasi hidup.
Setelah menikah dengan Zubaidah, Chatib Soelaiman kembali menjalani bahtera rumah tangga dengan menikahi gadis manis dari Bukik Surungan, Padangpanjang bernama Syafiah Emma. Syafiah adalah guru berpendidikan yang menghayati keresahan Chatib. Malang, cinta mereka tidak bertahan lama, karena Syafiah meninggal dunia dalam usia muda dengan dua orang anak. Selang beberapa waktu kemudian, Chatib menikah lagi dengan adik Syafiah Emma bernama Junidar. Junidar adalah seorang bidan. Dengan istrinya ini Chatib Suleman memperoleh tiga orang anak. Dengan demikian, sepanjang hidupnya, Chatib tercatat menjalani tiga kali pernikahan.
Mulai Menjadi Guru
Kisah heroik Chatib Soelaiman sendiri, diawali dengan keaktifan dirinya dalam pergerakan bangsa di Padangpanjang. Dia pernah memimpin HIS Muhammadiyah dan mengajar pada Madratsah Isyadinnas (MIN)
Padangpanjang, sekitar tahun 1930. Lalu, pada tanggal 11 Nopember 1932, dia menjadi pengurus PNI Cabang Padangpanjang. Cuma sayang, pada tahun 1934 pemerintah Belanda mengeluarkan larangan mengadakan rapat dan berkumpul (vergader-verbod). Dengan larangan itu otomatis dunia pergerakan mengalami pukulan hebat.
Namun peristiwa itu tidak membuat Chatib berkecil hati. Dia memindahkan gerakannya ke wilayah ekonomi. Bersama Leon Salim, ia menerbitkan Majalah Sinar. Dalam terbitan setebal 32 halaman, Chatib dan Leon membuat karangan untuk saudagar muda dan pelajar-pelajar. Karangan itu terutama menyangkut masalah ekonomi. Setelah itu, Chatib pindah ke Bukittinggi. Bersama dengan teman-temannya Anwar St Saidi, Mr Nasrun dan Marzuki Yatim, Mr Moh Yamin dibangunlah persatuan dagang Bumi Putera. Kecuali di Bumi Putera, ia bersama teman-temannya mendirikan pula sebuah Bank yang dinamakan Bank Nasional. Di zaman penjajahan Belanda sulit ditemui bank-bank swasta. Oleh karena itu mendirikan Bank Nasional harus diakui sebagai suatu keberanian.
Menjelang Belanda Hengkang
Ketika Belanda mulai berakhir dan adanya undang-undang S.O.B yang memunculkan kesadaran politik rakyat. Chatib muncul lagi. Ia merencanakan demonstrasi di Padangpanjang tanggal 12 Maret 1942. Dalam demonstrasi itu pemerintah Belanda dituntut agar menyerahkan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia, atau bukan kepada Jepang. Kecuali itu, Belanda diminta tidak membumihanguskan kekayaaan alam Indonesia .
Waktu demonstrasi, direncanakan akan dikibarkan Merah Putih. Tapi upaya ini dicium Belanda. Akibatnya, pagi Subuh tanggal 12 Maret 1942, Chatib Soelaiman ditangkap dan dibuang ke Kotacane, Aceh. Tanggal 25 Maret 1942, tentara Belanda telah meninggalkan Kotacane. Chatib Soelaiman beserta pejuang bisa menghirup udara bebas. Sementara rakyat, mulai mencari keberadaan mereka. Lalu pada tanggal 31 Maret 1942, Chatib kembali di tengah rakyat Sumbar. (Fajar Rillah Vesky)
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Chatib Soelaiman membentuk ”Pemuda Nippon Raya”. Sepintas lalu, organisasi ini Pro-Jepang. Tapi ditilik lebih jauh, organisasi ini bertujuan untuk menyelamatkan pergerakan dari Jepang. Awalnya, Jepang suka dengan kehadiran Pemuda Nippon Raya. Tapi kemudian Jepang membubarkan. Chatib Soelaiman ditangkap lagi. Selang beberapa waktu, dia kembali dibebaskan. Kemudian, Jepang membuat Syu Sangi Kai atau sejenis Dewan Perwakilan Rakyat di Sumatera Tengah. Mohammad Syafei ditunjuk sebagai Ketua, Chatib Soelaiman aktif pula di sana .
Saat Indonesia Merdeka
Ketika Republik Indonesia dinyatakan Merdeka, pada Desember 1945 Chatib Soelaiman bergabung dengan Partai Masyumi. Pada akhir tahun, dia mempersiapkan pula Partai sosialis sebagai reinkarnasi dari Pendidikan Nasional Indonesia. Sekitar tahun 1947, tepatnya pada tanggal 21 Januari 1947, Chatib dan kawan-kawan pergi ke Jawa, menghadiri sidang Komite Nasional Indonesia Pusat yang akan diadakan di Malang. Chatib Soelaiman kembali ke Sumbar pada pertengahan Mei 1947.
Mengenai keterlibatan Chatib Soelaiman dalam peristiwa Situjuah 15 Januari 1949. Sesungguhnya, tidak terlepas dari serangan Belanda ke Koto Tinggi pada tanggal 10 Januari 1949. Serangan tersebut sangat telak dan membuat Koto Tingi sebagai tempat kedudukan Gubernur Militer jadi sedikit darurat. Makanya, setelah pasukan Belanda meninggalkan Koto Tinggi, pemimpin republik di Sumatera Tengah langsung berkumpul kembali. Mereka berniat untuk menggelar rapat penting. Dalam rapat tersebut disepakati sejumput keputusan, termasuk menggelar pertemuan yang lebih lengkap singkat dan penting di daerah Situjuah Batua, tanggal 15 Januari 1949. 
Untuk pertemuan tersebut, Chatib diutus Gubernur Militer Sumbar Sutan Muhamad Rasyid datang ke Situjuah Batua. Maka pada tanggal 12 Januari 1949, Chatib Soelaiman, bersama Dahlan Ibrahim, Mayor A Thalib, berangkat dari Koto Tinggi menuju Koto Kociak, Padang Jopang. Di sana mereka bermalam, dan sudah dinanti oleh Bupati Militer Limapuluh Kota Arisun Sutan Alamsyah. Setelah menginap semalam di rumah Sekwilda Anwar ZA, rombongan ini kemudian berangkat ke Situjuah Batua tanggal 13 Januari 1949, dengan melewati Nagari Batu Hampa. Di Batu Hampa, mereka bertemu dengan pemimpin setempat dan menggelar pertemuan pula. Baru tanggal 14 Januari 1949, sekitar jam 10 malam, Khatib Sulaiman sampai di Situjuah Batua. Dia langsung memimpin rapat dengan sejumlah tokoh penting.
Karena terlalu lelah, selepas rapat Chatib Soelaiman langsung istirahat. Namun takdir berkata lain, ketika ayam jantan mulai berkokok dan halimun pagi baru nampak di ufuk timur, tiba-tiba desingan peluru penjajah mulai menyalak. Lurah Kincia dikepung dari berbagai penjuru mata angin. Para pejuang, ada yang mencoba untuk melawan. Akibatnya, para pejuang gugur satu persatu, termasuk Chatib Soelaiman. Namun sebelum menghadap Sang Khalik, Chatib Soelaiman sempat menulis puisi pada kertas bungkus rokok. Puisi itu diberikan kepada Dahlan Ibrahim. Sebelum menutup tulisan ini, simaklah sepenggal puisnya:  “Kekasihku../Siapa kuasa memecah cinta/Tumbuh murni antara kita/Biar aku kejam di asing/Dipaksa suruh beralih kasih/ dan dikau kini jauh/  tiada hilang dimusnahkan orang… (Fajar Rillah Vesky )

Fajar Rillah Vesky

Padang Ekspress


Actions

Information

Leave a comment